Tidak beranjak dari masa
lalu memang hal yang tidak baik, namun mengingat masa lalu bukanlah hal yang
salah. Mari kita menengok sedikit saja ke belakang. Ke hari-hari di mana waktu
menjadi semakin bermakna. Akui saja, kita sebagai muslim menjadi lebih akurat
dalam mengingat waktu sholat, terutama subuh dan maghrib sebagai batas mulai
dan berbuka puasa. Tidak hanya mengenai menit, tetapi juga hari semakin
berarti. Meskipun mungkin tidak setiap hari, tetapi puasa yang berlangsung
sebulan tidak dapat dipungkiri sangat terasa di awal dan di akhir. Di
perjumpaannya dan di perpisahannya. Di awal menghitung-hitung baru sedikit
sekali bulan puasa berlangsung. Hingga di akhir muncul kata-kata “tidak terasa
ya” atau semacamnya. Di akhir, apalagi keistimewaan sepuluh malam ganjilnya pun
semakin membuat kita menghitung-hitung berapa hari lagi menuju 1 Syawal yaitu
hari Idul Fitri atau yang biasa disebut oleh umat Islam di Indonesia sebagai
“Hari Lebaran”. Hanya tinggal esok atau lusa. Setelah beberapa hari lalu kita
menggumam, tinggal beberapa hari lagi. Di sepanjang penghujung waktu, perasaan
kita tentu bercampur aduk. Sebagaimana perpisahan pada umumnya, waktu-waktu
menjelang perpisahan akan menimbulkan rasa bahagia dan sedih di saat yang
bersamaan. Seperti beberapa waktu ini yang bertepatan dengan kenaikan kelas di
sekolah. Naik tingkat dari SMA ke kuliah, sidang sarjana, ada kebahagiaan atas
kerja keras yang akan mengantarkan ke tingkat yang lebih tinggi. Namun ada
kesedihan atas perpisahan dengan teman-teman seperjuangan, juga penyesalan atas
ketidakmaksimalan dalam berbuat baik bagi diri sendiri dan sekitar.
Petikan-petikan hikmah
terbanyak yang bisa diperoleh baik bagi adik-adik SMA yang akan kuliah maupun
kakak-kakak sarjana yang akan menuju dunia pascakampus nya masing-masing tak
jauh berbeda dengan kebersamaan kita dengan Ramadhan ini. Sama-sama memetik
hikmah di penghujungnya. Sempat terbersit di pikiran saya mengapa banyak hikmah
yang harus hadir di penghujungnya? Mengapa malam lailatul qadr yang lebih baik
dari seribu bulan ditempatkan di akhir? Mengapa itikaf umumnya kebanyakan
dilakukan di akhir? Mengapa ramai-ramainya Ramadhan, baik kekhusyuan ibadahnya
maupun persiapan duniawi seperti makan khas lebaran dan baju baru-yang semuanya
itu Insya Allah jika diniatkan bernilai ibadah-terjadi di akhir?
Kemudian saya teringat
nama sebuah sekolah islam swasta berasrama. Bukan sekolahnya, tetapi namanya.
Husnul Khotimah. Artinya, akhir yang baik. Jujur saya tidak ingat di ayat mana
atau di hadits manakah adanya kata-kata tersebut karena selama ini seingat saya
ungkapan tersebut saya dengar dari doa yang dipanjatkan baik dalam bahasa Arab
maupun bahasa Indonesia. Ungkapan ini menurut saya adalah sebuah konsep hidup
yang begitu inti. Segala hal yang ada dalam hidup kita, bagi orang yang beriman
pada hakikatnya adalah jalan, jembatan, bekal, persiapan, perantara, dan
sebagainya menuju kehidupan akhirat. Dalam konsep husnul khotimah, yang
menentukan nasib atau nilai adalah pada akhirnya. Adilkah? Jika seseorang
pernah berbuat baik lalu menjadi jahat dan jika seseorang pernah berbuat jahat
lalu menjadi baik, sekilas terlihat sama bukan? Apakah lantas kebaikan atau
kejahatan di masa lalunya benar-benar musnah begitu saja? Sebermakna itukah perubahan?
Jawabannya bisa jadi iya. Bukan tentang hitungan baik dan buruk yang
diakumulasikan. Tetapi sebagaimana bertambahnya amal dapat berlipat ganda,
terdapat pula hukum yang mengurangi atau bahkan menghapus. Seperti halnya
aqidah, yang jika seseorang berubah aqidahnya, berubah agamanya, maka
terhapuslah perbuatan aqidah sebelumnya, baik perbuatan baik (iman dan amal
sholeh) maupun perbuatan buruk (dosa dan maksiat).
Bagi muallaf, segala
dosanya terhapuskan dan ia suci sebagaimana bayi yang baru lahir. Bagi orang
yang murtad, segala pahalanya terhapuskan. Sebegitu pentingnyalah iman dan
seberbahaya itulah syirik. Tidak hanya itu. Sebagaimana kita menilai dan
dinilai orang lain, hanya orang berpikiran sempit lah yang menilai sesama hanya
berdasarkan masa lalunya. Riwayat memang penting, tetapi selama nyawa masih
bersemayam di tubuh kita, bukan sebuah kemustahilan jika di penghujung hayat
diri kita berbeda seratus delapan puluh derajat. Sebegitu pentingnyalah yang di
akhir.
Kembali pada waktu, fenomena ramainya ibadah
atau yang saya lihat sebagai meningkatnya aktivitas dan mobilitas masyarakat
menurut saya dapat diterjemahkan sebagai persiapan menuju hari akhir.
Sebagaimana kita menjemput hari kematian kita, menjemput hari akhir zaman,
seperti itulah kita menjemput satu Syawal. Dengan cara yang bermacam-macam.
Mobilitas meningkat dilihat dari ramainya masjid oleh kajian-kajian keislaman
maupun rangkaian itikaf, juga ramainya pasar oleh produk-produk khas lebaran
maupun diskon besar-besaran. Orang-orang berbondong-bondong keluar dari
rumahnya. Di ujung dari penghujung pun tradisi masyarakat Indonesia
memperlihatkan mobilitas yang luar biasa hebat: mudik.
Khas. Keren. Merakyat.
Tiga kata itulah yang saya pikir pantas disematkan untuk fenomena penghujung
Ramadhan atau menjelang Lebaran. Khas, karena banyak tradisi yang dimiliki atau
hanya ramai semarak di Indonesia. Seperti pawai Ramadhan, buka bersama, ta’jil
dan sahur on the road, mudik, dan
lain-lain yang begitu subur di Indonesia. Keren, dalam sudut pandang sebagai
penuansaan syiar Ramadhan. Sebagai penghormatan. Sebagai penjiwaan. Merakyat,
karena hampir seluruh orang merayakannya. Baik yang kaya maupun yang miskin,
Ramadhan menghasilkan upaya pemerataan kebahagiaan. Meskipun tentu tidak akan
rata dan tidak dapat diukur, meskipun tentu tetap ada yang berduka, namun
dengan zakat, infaq, sedekah yang menyebar dan harga barang yang bervariasi,
setidaknya secara umum setiap orang ’memaksakan’ dirinya untuk mengisi
penghujung Ramadhan dan menyambut Idul Fitri dengan sebaik-baiknya. “Maka
bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan memohon ampunlah kepada-Nya.” Teringat
Al Quran surat An Nasr ayat dua. Dulu, saya sempat terheran ketika membaca
terjemahan surat ini. “Jika datang pertolongan Allah dan kemenangan”, begitu
ayat sebelumnya. Saya memikirkan rangkaian kata: memohon ampunlah kepada-Nya.
Memohon ampun atas pertolongan dan kemenangan? Mengapa? Kemudian diakhiri
dengan, “Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Taubat”. Tak dipungkiri lagi,
kata istighfar yang dimaksud adalah untuk bertaubat. Bertaubat atas pertolongan
Allah dan kemenangan? Setelah saya membaca tafsirnya dari Tafsir Fii Zhilalil
Quran, dijelaskanbahwa kemenangan yang dimaksud adalah atas peristiwa Fathu
Makkah atau pembebasan kota Mekkah. Makna istighfar tersebut adalah memohon
ampun kepada Allah, karena banyaknya perasaan yang bercampur aduk di dalam
jiwa, yang begitu rumit dan halus jalan masuknya. Juga beristighfar dari rasa
bangga dan sombong yang terkadang mengiringi kalbu atau menyelinap ke dalam hati
atas kemenangan yang diraih karena sejatinya kemenangan mereka adalah atas
pertolongan Allah.
Astaghfirullah. Untuk
penyia-nyiaan waktu di awal Ramadhan. Untuk fluktuasi iman yang lebih banyak
turun daripada naiknya. Untuk ibadah vertikal yang dilakukan sendiri ketimbang
mengajak sesama. Untuk ibadah duniawi yang terkadang masih terombang-ambing
niatnya. Untuk semangat yang hanya membara di perapian pribadi, juga untuk
semangat yang mungkin tak kunjung membara hingga di akhir.
Satu Syawal. Lebaran. Idul Fitri. Bagaimanapun
kita menyebutnya, semoga sebulan yang penuh rahmat dan berkah ini menjadi titik
balik kita semua, bersama, menjadi pintu akselerasi untuk lebih memaknai arti
hidup yang sebenarnya. Tak ada kata terlambat untuk mencintai. Cinta di penghujung
waktu mungkin akan mengantarkan kita pada awal yang lebih baik. Cinta yang
tersebab kepergiannya justru membuat kita semakin kuat. Sebelas bulan
selanjutnya lah yang kemudian menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di
awal tadi. Apakah cinta kita setulus itu? Apakah kita mencintainya dengan niat
dan cara yang benar? Sehingga kita pantas untuk kembali suci?
Taqabalallahu Minna wa Minkum Shiyamana wa
Shiyamakum wa Ahalahullah Alaik. (Semoga amalanku dan amalanmu, puasaku dan
puasamu diterimaNya serta disempurnakanNya).
Jadikan Ramadan ini sebagai bulan bagi kita
untuk senantiasa memperbaiki diri dan mencapai kemenangan yang hakiki. Semoga
kita dibelebar panjang an barokah sehingga dapat dipertemukan lagi di bulan
suci Ramadan tahun depan. Aamiin yaa robbal ‘alamin :)
Minal aidin walfaidzin. As’alukal afwan minal
dzahiran wal bhinah, mohon maaf lahir dan batin.
Wallaahu a’lam bishshawab. Wabillahi
taufik wa hidayah. Wassalamuaa’laykum. Wr. Wb .
Oleh : Marie Indah Alfinnur
Departemen Syiar Biro Al-Qolam LDK As-Salam
As-Salam 27 #KreatorPeradaban #SpreadingKindnessWithDakwah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar